Jakarta - Stabilisasi harga Pertalite di level Rp 10.000 per liter ternyata menyimpan konsekuensi fiskal yang berat bagi negara. Pemerintah secara gamblang membeberkan bahwa di balik harga yang terjangkau bagi masyarakat tersebut, terdapat beban subsidi dan kompensasi yang sangat besar dan terus membebani postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beban ini semakin berat ketika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan yang signifikan.
Penjelasan resmi dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa mekanisme pemberian subsidi BBM bersifat sebagai 'penyambung' antara harga pasar yang wajar (economic price) dengan harga politik (political price) yang ditetapkan pemerintah. Dalam situasi normal, selisihnya mungkin masih dapat ditoleransi. Namun, dalam situasi geopolitik yang memanas atau pelemahan nilai tukar rupiah yang dalam, selisih itu bisa melonjak drastis dan mengancam defisit APBN yang lebih lebar dari yang direncanakan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan juga sering mengingatkan tentang elastisitas beban subsidi BBM terhadap kondisi eksternal. Setiap kenaikan 1 dolar AS dalam harga minyak mentah Indonesia (ICP), akan menambah beban subsidi dan kompensasi energi sekitar Rp 1,6 triliun hingga Rp 2 triliun per tahun. Angka ini belum termasuk dampak dari fluktuasi nilai tukar. Dengan konsumsi Pertalite yang tinggi, dampaknya sangat masif.
Beban yang besar ini memunculkan dilema klasik. Di satu sisi, harga BBM yang stabil penting untuk menahan laju inflasi dan melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok miskin dan rentan. Di sisi lain, anggaran yang terkuras untuk subsidi mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan jangka panjang yang justru bisa menciptakan kemandirian energi dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Untuk mengurangi tekanan, pemerintah melakukan berbagai langkah. Pertama, mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pajak dan non-pajak. Kedua, menjaga alokasi belanja modal dan sosial agar tidak tergerus. Ketiga, memperkuat sistem perlindungan sosial (social safety net) seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) agar jika suatu saat harga BBM disesuaikan, dampaknya terhadap kelompok paling rentan dapat diminimalisir.
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah, menilai pengungkapan beban subsidi ini sebagai bentuk akuntabilitas yang baik. Namun, langkah selanjutnya yang ditunggu adalah bagaimana pemerintah merancang road map atau peta jalan penurunan subsidi secara bertahap yang disertai dengan mitigasi dampak sosialnya. "Subsidi harus dilihat sebagai obat pereda, bukan makanan sehari-hari. Negara harus punya strategi untuk mengobati penyakitnya, yaitu ketergantungan pada BBM murah," tuturnya.
Publik diharapkan dapat melihat persoalan ini secara lebih komprehensif. Harga BBM murah bukanlah anugerah tanpa biaya. Biayanya sangat tinggi dan ditanggung bersama melalui APBN, yang berarti juga mempengaruhi kualitas layanan publik lainnya. Kesadaran ini penting untuk membangun konsensus nasional menuju kebijakan energi yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan di masa depan.